17 Hari Kemudian


17 hari kemudian setelah kelahiranku, tali pusarku baru putus. Menurut para orang tua, ini rentang waktu yang lumayan lama. Kebanyakan bayi-bayi akan putus tali pusarnya antara seminggu sampai 10 hari setelah lahir. Hehehe...

Inilah ritual pertama dari serangkaian panjang ritual tradisi yang aku jalani sebagai bayi. Begitu tali pusarku putus, Dadong – panggilan untuk nenek atau ibu dari ayahku, segera membuat sesajen untuk ungkapan syukur. Sore harinya, aku di-otonin dengan sesajen itu. Potongan tali pusarku yang sudah kering, disimpan ke dalam bumbungan atau pipa dari ranting bambu kecil yang dibungkus lilitan benang, kemudian diberi tali yang juga dibuat dari pintalan benang berwarna hitam, lalu dijadikan gelangku. Hmmm, rasanya keren juga aku memakai gelang benang itu.

Di jaman yang sudah serba plastik dan metal kayak sekarang, hal macam begini tentulah sesuatu yang langka, dan bagiku ini bahkan sesuatu yang eksklusif oriental hehehe... Gelang itu konon akan menjagaku dari berbagai gangguan yang tak nampak oleh mata. Secara klenik, gangguan tak nampak itu adalah berbagai mahluk halus yang jahat, atau berbagai ilmu hitam. Sedangkan secara ilmiah, sesuatu yang tak nampak itu bisa saja adalah berbagai macam virus, bakteri, kuman dan sejenisnya. Potongan tali pusarku yang berada dalam pipa bambu itulah yang akan menjaga kekebalan tubuhku dari serangan virus, bakteri atau kuman. Logikanya, potongan tali pusar yang dulunya adalah bagian dari tubuhku, jika ia tetap dekat dengan tubuhku, maka ia akan bereaksi memacu daya rangsang kekebalan tubuhku jika suatu saat ada vurus atau kuman yang menyerangku. Hmmm...

Mulai sejak hari itu juga aku boleh memakai nama. Soal namaku, agak panjang juga ceritanya. Konon, sebelum kandungan bundaku berusia 7 bulan, ayah dan bundaku yakin aku ini cewek. Maka mereka hanya menyediakan nama untuk putrinya, bukan untuk putranya. Sialan juga ya... ssssssssttt jangan bilang-bilang aku ngomong kasar ya...

Ketika kandungan bundaku 7 bulan dan di-USG di rumah sakit, astaganaga...., ternyata aku ini cowok tulen! Rasain! Hihihi...

Kelimpunganlah ayah dan bundaku membuat nama untukku. Tapi ayahku adalah orang yang cukup cerdas untuk urusan membuat nama bagi anak-anaknya. Ayah membuat namaku “.......... Elang Semesta”. Nah, untuk mengisi titik-titik di depan Elang Semesta itu, ayah dan bundaku agak bingung. Menurut mereka, sulit sekali menemukan kata yang pas.

Sampai akhirnya kakak sulungku, Mas Bayu, yang membantu. Mas Bayu menambahkan kata “Kanahaya” untuk namaku. “Kanahaya” ini berasal dari kata “anak ayah” yang dibalik. “Anak” dibalik menjadi “Kana”, “ayah” dibalik menjadi “haya”. Maka jadilah namaku Kanahaya Elang Semesta. Keren gak sih? Ah, apalah dayaku. Saat itu aku kan gak bisa ngomong apa-apa. Jadi terima saja, meskipun ini sering membuat para petugas medis di rumah sakit atau di Posyandu mengira “kanahaya” itu nama cewek. Hhhh.... Tapi bagaimanapun juga, aku merasa cukup nyaman dengan nama ini.

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

0 komentar:

Posting Komentar