Ngedinanin


Dalam hitungan penanggalan Jawa dan Bali, ada istilah weton (Jawa) atau oton (Bali) yang datangnya setiap 6 bulan sekali atau 210 hari. Jumlah ini didapat dari 35 hari dikalikan 6 bulan. Satu bulan dalam penanggalan ini terdiri dari 35 hari (bukan 30 atau 31 hari) seperti kalender Masehi.

Nah, untuk peringatan kelahiran manusia, dalam penanggalan Jawa dan Bali ini adalah dilakukan setiap 6 bulan. Atau, 6 bulan itu sama dengan satu weton atau satu oton. Misalnya saja aku ini. Aku lahir tanggal 10 Juni 2008, yang dalam penanggalan Jawa-Bali adalah Hari Selasa Wage (wuku) Pahang. Hari kelahiran inilah akan terulang lagi setiap 210 hari sekali. Tetapi di samping peringatan wetonan atau otonan, di Bali juga dikenal dengan upacara Ngedinanin yang jatuh setiap satu bulan atau setiap 35 hari sekali. Intinya, ini adalah jatuhnya hari yang sama atas setiap kelahiran, namun berbeda wuku-nya. Untuk jelasnya, sebulan (35 hari) setelah kelahiranku, adalah Hari Selasa Wage (wuku) Matal, kemudian sebulannya lagi adalah Hari Senin Pon (wuku) Prangbakat, dan seterusnya.

Memasuki hari ke-35 sejak kelahiranku, aku kembali dibuatkan sesajen oleh Dadong. Hari iu aku diupacarai sebagai syukuran memasuki bulan pertama yang dalam Bahasa Bali diistilahkan dengan Ngedinanin. Seperti sudah kuceritakan di atas tadi, upacara ini akan berulang setiap sebulan sekali, minimal hingga aku berumur 7 bulan.

Foto: aku saat berumur satu bulan
Selengkapnya...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

17 Hari Kemudian


17 hari kemudian setelah kelahiranku, tali pusarku baru putus. Menurut para orang tua, ini rentang waktu yang lumayan lama. Kebanyakan bayi-bayi akan putus tali pusarnya antara seminggu sampai 10 hari setelah lahir. Hehehe...

Inilah ritual pertama dari serangkaian panjang ritual tradisi yang aku jalani sebagai bayi. Begitu tali pusarku putus, Dadong – panggilan untuk nenek atau ibu dari ayahku, segera membuat sesajen untuk ungkapan syukur. Sore harinya, aku di-otonin dengan sesajen itu. Potongan tali pusarku yang sudah kering, disimpan ke dalam bumbungan atau pipa dari ranting bambu kecil yang dibungkus lilitan benang, kemudian diberi tali yang juga dibuat dari pintalan benang berwarna hitam, lalu dijadikan gelangku. Hmmm, rasanya keren juga aku memakai gelang benang itu.

Di jaman yang sudah serba plastik dan metal kayak sekarang, hal macam begini tentulah sesuatu yang langka, dan bagiku ini bahkan sesuatu yang eksklusif oriental hehehe... Gelang itu konon akan menjagaku dari berbagai gangguan yang tak nampak oleh mata. Secara klenik, gangguan tak nampak itu adalah berbagai mahluk halus yang jahat, atau berbagai ilmu hitam. Sedangkan secara ilmiah, sesuatu yang tak nampak itu bisa saja adalah berbagai macam virus, bakteri, kuman dan sejenisnya. Potongan tali pusarku yang berada dalam pipa bambu itulah yang akan menjaga kekebalan tubuhku dari serangan virus, bakteri atau kuman. Logikanya, potongan tali pusar yang dulunya adalah bagian dari tubuhku, jika ia tetap dekat dengan tubuhku, maka ia akan bereaksi memacu daya rangsang kekebalan tubuhku jika suatu saat ada vurus atau kuman yang menyerangku. Hmmm...

Mulai sejak hari itu juga aku boleh memakai nama. Soal namaku, agak panjang juga ceritanya. Konon, sebelum kandungan bundaku berusia 7 bulan, ayah dan bundaku yakin aku ini cewek. Maka mereka hanya menyediakan nama untuk putrinya, bukan untuk putranya. Sialan juga ya... ssssssssttt jangan bilang-bilang aku ngomong kasar ya...

Ketika kandungan bundaku 7 bulan dan di-USG di rumah sakit, astaganaga...., ternyata aku ini cowok tulen! Rasain! Hihihi...

Kelimpunganlah ayah dan bundaku membuat nama untukku. Tapi ayahku adalah orang yang cukup cerdas untuk urusan membuat nama bagi anak-anaknya. Ayah membuat namaku “.......... Elang Semesta”. Nah, untuk mengisi titik-titik di depan Elang Semesta itu, ayah dan bundaku agak bingung. Menurut mereka, sulit sekali menemukan kata yang pas.

Sampai akhirnya kakak sulungku, Mas Bayu, yang membantu. Mas Bayu menambahkan kata “Kanahaya” untuk namaku. “Kanahaya” ini berasal dari kata “anak ayah” yang dibalik. “Anak” dibalik menjadi “Kana”, “ayah” dibalik menjadi “haya”. Maka jadilah namaku Kanahaya Elang Semesta. Keren gak sih? Ah, apalah dayaku. Saat itu aku kan gak bisa ngomong apa-apa. Jadi terima saja, meskipun ini sering membuat para petugas medis di rumah sakit atau di Posyandu mengira “kanahaya” itu nama cewek. Hhhh.... Tapi bagaimanapun juga, aku merasa cukup nyaman dengan nama ini.
Selengkapnya...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments

Tentang Kelahiranku



Maaf, ini adalah cerita ayah dan bundaku. Bukan asli ceritaku, sebab manalah mungkin aku ingat soal bagaimana proses aku lahir dulu.

Menurut ayah dan bundaku, aku lahir tanggal 10 Juni 2008. Sama persis dengan tanggal lahir Mbah Kakung. Ya, aku memang hanya punya Mbah Kakung alias ayah dari bundaku. Sedangkan Kiyang atau ayah dari ayahku konon sudah meninggal lima tahun sebelum aku lahir. Kiyang katanya meninggal dalam usia 65 tahun karena kanker usus. Sayang memang, aku dan Kiyang gak sempat bertemu. Kalau saja Kiyang masih ada, pastilah seru dan pasti lebih banyak lagi yang menyayangiku hehehe... Sudahlah, biarlah Kiyang istirahat dalam damai di sana, karena aku yakin Kiyang toh tetap bisa melihatku dari sana.

Aku lahir melalui bedas caesar. Padahal katanya bundaku ingin aku lahir dengan proses alamiah. Tapi entah karena apa, ketika konon kepalaku sudah kelihatan, eh, bunda malah gak merasakan sakit lagi dan tenaganya menurun drastis. Jadi agar tidak terjadi sesuatu yang buruk terhadapku dan bunda, maka keputusan untuk mengeluarkanku dengan pisau bedah harus diambil. Maka aku lahir di sebuah rumah sakit suasta tanpa sepengetahuan bunda yang masih tertidur akibat dibius.

Ketika tubuhku diangkat dari dalam perut bunda, ternyata katanya aku sudah kekurangan oksigen. Kulitku kelihatan kuning katanya. Maka dokter dan perawat segera menaruhku di inkubator. Aku harus dipanaskan dan hidungku dimasuki selang oksigen selama dua jam.

Selama dalam inkubator, katanya aku meronta terus dan selalu menarik selang oksigen di hidungku. Maka aku dipegangi oleh ayah sambil menunggu perawat membuatkan aku suatu cairan pengganti air susu ibu sementara. Setelah dua jam di inkubator, barulah aku dipindahkan ke kamar di mana bunda dan aku dirawat selama tiga hari sebelum akhirnya boleh pulang.

Begitulah cerita singkat tentang kelahiranku ke dunia ini. Ah ah, entahlah, aku gak inget semua itu. Dan sekali lagi, ini adalah cerita ayah dan bundaku. Peace...

Foto1: Aku sesaat setelah dipindahkan ke ruang perawatan.
Foto 2: Aku diangkat dari inkubator dan diberi minum oleh perawat.
Selengkapnya...

  • Digg
  • Del.icio.us
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • RSS
Read Comments